Bintang Kejora

Cerita Pendek – Kumpulan Cerita Menarik
Bintang Kejora
1. Mengenang Bintang

Selain kematian, yang paling aku takutkan adalah ditinggalkan. Dua-duanya bermuara pada satu hal, sepi. Bagiku kematian adalah proses hilangnya jiwa dari badan kasar. Karenanya, siapa saja yang tak lagi memiliki jiwa akan terasa mati, dan sepi. Sama seperti kepergian, yang meninggalkan ruang komunikasi. Sesuatu yang tak lagi ada percakapan, berujung pada rasa sepi. Aku benci.

Itu kenapa aku membenci kepergian perempuan itu. Memang dia tidak mati, tapi kepergiannya bagiku sudah berarti sebuah kematian. Aku kesepian dan merasa sendiri. Mungkin sebenarnya Bintang masih ingin bersamaku. Kemana aku pergi, ia terus menggandengku. Tak jarang di depan banyak orang ia memeluk dari belakang. Bahkan sering juga tiba-tiba mencium pipi kiriku dengan cepat. Kepergiannya, sempat membuatku terguncang. Namun bukan salahnya pergi begitu saja. Akulah yang telah membunuhnya. Perempuan itu, kubunuh dengan sebuah rencana.

*
Aku mengenal perempuan tidak cukup lama. Beberapa waktu lalu secara kebetulan, pada sore yang mendung di sebuah stasiun kota. Sama sepertiku, dia tengah menunggu jam keberangkatan ke Jogja. Dari caranya duduk yang tenang, aku bisa menerka dia tipe orang yang suka menunggu. Tak sepertiku yang kerap gelisah jika harus lebih lama duduk menanti sesuatu.

Sambil menunggu, aku melihatnya tengah membaca sebuah buku berjudul Lolita. Novel tahun 1955 yang sudah dicetak beberapa kali di Indonesia itu merupakan cerita yang kontroversial pada jamannya. Pikirku, seleranya cukup bagus. Apalagi tak semua orang menyukai jenis cerita yang ganjil dan diluar norma. Kisah seorang lelaki peudopilia bernama Humbert yang jatuh cinta pada gadis cilik bernama Dolorez Haze-sang Lolita. Novel ini indah dan menyentuh. Beberapa tahun sejak kemunculannya, buku itu sempat dilarang di Amerika Serikat.

Namun kini, malah kerap dijadikan kajian sastra di kampus-kampus bagi mahasiswa jurusan sastra semester akhir. Beberapa kritikus sastra juga setuju, bahwa Lolita salah satu novel terbaik. Saking populernya, kisah ini sempat difilmkan hingga dua kali. Pada tahun 1960 an dan tahun 1990 an. Aku pernah melihat filmnya yang diputar pada versi kedua. Begitu mendebarkan dan asyik. Cinta yang romantis meski belum tentu orang lain setuju dengan pendapatku.

Karenanya, aku tentu tertarik pada orang yang memiliki selera sama denganku. Perempuan itu sedang membaca karya Vladimir nabokov dengan sungguh-sungguh. Matanya yang kecil itu serius mengikuti deretan kalimat seksi menggairahkan. Aku cermat mengamatinya, ia terlihat cemas. Dari geraknya yang mulai tak nyaman. Sepertinya pengamatanku mengganggu kegiatannya. Sejurus kemudian ia melihatku. Aku tersenyum, dia juga tersenyum.

“Fladimir nabokov?” senyumnya memberanikanku bertanya padanya. Perempuan dengan kulit sawo matang itu mengangguk.

“Sudah baca?” tanyanya. “Sudah” kataku. Akhirnya kami terlibat percakapan ringan yang mengasyikkan. Dari perbincangan itu, aku tahu namanya Bintang. Bintang Kejora. Memiliki hobi membaca, dan melamun. Ia lantas banyak cerita tentang dirinya. Kegemarannya, judul buku koleksinya, serta rnana perjalanannya.

“Aku akan mengunjungi teman online ku di Jogja. Kami bertemu melalui sosial media. Dia perempuan penulis di sana. Kegiatannya lebih banyak pada kesenian dan menulis. Dia kerap monolog di taman budaya, dan alun-alun. Lalu soal buku yang dia tulis aku punya satu, dan itu cerita yang menarik,” ceritanya panjang. Aku mengangguk saja mengiyakan.

Sebelum perpisahan kami di stasiun itu, kami bertukar nomer telepon. Memang norak, tapi tidak kupungkiri percakapan sore itu meninggalkan bekas yang tak mudah dihilangkan. Nomer telepon itu tak kutulis tapi aku bisa mengingatnya dengan baik, sama seperti aku mengingat matanya yang coklat dan teduh. Juga mengingat bibirnya yang selalu memberikan senyuman ramah, atau uga suaranya yang renyah.

Satu lagi yang tak mudah dilupakan, caranya berdialog selalu diiringi dengan bahasa tubuh yang aleman. Sejak hari itu, aku merasa Bintang cukup mengangguku. Wajahnya yang adem terus mengikuti gerak-gerikku. Kemana aku melangkah, dia tiba-tiba muncul begitu saja. Sering kegiatanku terganggu karena kehadirannya. Walau merindukannya, aku tak pernah mencoba menghubungi Bintang. Entah karena aku tak memiliki cukup keberanian, atau karena aku tak ingin berurusan lebih rumit dengannya.

Meski pertemuan itu telah terjadi beberapa waktu lalu, kelebatan Bintang masih saja sama seperti malam kemarin. Aku seperti seorang pesakitan yang terus menghindar agar tak bertemu Bintang, meski hanya melalui bayang-bayang saja. Aku seperti menghindarinya, dan dia seolah mengejarku. Aku seperti buron yang melarikan diri, dan aku tengah menjauhinya padahal tidak.

Aku merasa dia selalu mengikutiku. Saat aku liburan, saat aku melakukan wawancara nara sumber, bahkan saat aku mandi, dia pernah mengintipku. Yang lebih parah adalah ketika aku tengah tidur bersama kekasihku, Jenar. Ia kerap menyelinap masuk di bawah selimut.

Ketika dia dibalik selimut seperti itu, diam-diam tanpa sepengetahuan Je, aku menggenggam erat tangannya. Sedikit berbisik aku katakan ‘keluarlah Bintang, kalau tidak kekasihku bisa terbangun dan marah’ dan seketika itu dia menurut. Namun tidak pada malam malam berikutnya. Ia kembali datang padaku dan kembali menyelinap dibalik selimut.

Pada setiap kedatangannya, Bintang selalu membawa raut wajah yang berbeda. Kadang ia terlihat begitu bahagia, kadang terlihat sedih, kadang pula seperti orang yang sedang khawatir. Banyak ekspresi yang ia hadirkan padaku. Meski ia sedih, bahagia atau khawatir, matanya yang kecil itu tak pernah berubah menunjukkan pandangan yang teduh.

Lalu hari-hari berikutnya kami bertemu seperti itu. Aku tak mampu mengusirnya lagi. Dia masuk dalam selimut, atau tiba-tiba berada dalam kamar mandi bersamaku. Tak jarang, ketika aku bekerja dia menguntitku diam-diam. Namun dari aroma parfumnya yang lembut, serta bayangannya yang memanjang kedepan melewati langkahku, aku bisa menebak dia di belakangku. Aku suka kehadirannya. Caranya yang diam-diam hadir lalu menemaniku.

Sebagai keturunan suku jawa, ada beberapa hal yang masih kerap dianggap tabu. Termasuk memikirkan perempuan lain, ketika aku sudah memiliki perempuan. Bukankah begitu. Karenanya semakin lama aku merasa kasihan pada Je. Pertemuan itu akhir-akhir ini mulai mengangguku. Karenanya, aku harus berhenti menemuinya. Tapi belum sempat aku menyuruhnya untuk tak mengangguku, tiba-tiba dia datang lantas berkata kesepian.

“Aku tak ada teman Run, aku sepi,” katanya malam itu.

“Wes rasah sok nggoda dan ngganggu aku ta, aku ga sukak kamu ganggu,” Bintang terlihat sedih mendengarku begitu ketus dan kasar. Tak ada cara lain selain menghentikan kegenitannya yang seperti itu. Karena aku tahu kalaupun aku meninggalkan Je, dia juga tak mungkin menyukaiku. Jadi, aku harus menghentikan perasaanku padanya. Namun air mata Bintang tiba-tba turun dengan cepat, aku merasa bersalah. Lalu tanpa diminta, ia bercerita padaku tentang hidupnya, yang selama ini menjadi tanda Tanya dalam hatiku.
Aku kerap bertanya-tanya, apakah perempuan ini seorang lajang yang tak memiliki kegiatan? Mengapa dia begitu kesepian dan sedih. Raut wajahnya, gerak bibirnya, bahasa tubuhnya, semua terlihat sedih. Keceriaannya hanya tampilan yang dia buat dengan kerja keras. Ketika dia duduk snediri, maka akan terlihat, dia begitu sepi dan hidupnya kering. Lalu, aku mendengarkan ceritanya lagi, pelan semakin pelan dia berujar, ‘aku sudah menikah Run,” aku terkejut, diam. Asyu.

(bersambung,,,,)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.