Nur

Cerita Pendek – Kumpulan Cerita Menarik
Nur
Oleh : Ardhia Tri AP

Pembunuh!” mendengar itu urat2 wajah lelaki itu menegang. Diletakkannya telunjuk persis di depan bibirnya, sambil menoleh ke kanan dan kiri, melihat situasi.

“Sssttss, jangan terlalu keras. Banyak yang bisa mendengarmu,” ujarnya berbisik pada perempuan cantik di depannya. Perempuan berkulit sawo matang mengecilkan suaranya, menurut. Lalu dia diam beberapa saat.
Beberapa waktu lalu, dia harus melewati perjalanan yang sedikit jauh dan melelahkan, untuk bisa sampai di kota S ini, tempat dia ingin terus melakukan teror pada lelaki yang sudah putus asa. Beberapa tahun terakhir, gairah yang tersisa dalam sel-sel tubuhnya yang bekerja adalah usaha untuk terus menghujani rasa bersalah pada lelaki kurus dihadapannya saat ini.

Di kota S, tepat di belakang lapangan samping alun-alun, berdiri sebuah lembaga permasyarakatan, atau LP. Banyak orang keluar masuk. Laki-perempuan. Tampan dan cantik. Beberapa ada yang menarik. Sedikit dari mereka cantik, dan banyak yang tak begitu cantik. Agaknya, LP seperti itu terancang untuk masyarakat dari kelas tertentu. Beberapa surve pribadi juga pernah perempuan itu lakukan. Dia melihat sendiri bahwa perempuan-perempuan cantik yang berkunjung ke LP itu, untuk menemui penghuni dengan kasus narkoba. Dia pernah bertanya, pada penjaga, perempuan pengunjung dan pada lelaki yang di selalu ia temui itu. Dari surve pribadinya itu, selanjutnya ia memiliki kesimpulan lain untuk pengunjung berwajah dingin, kulit sawo matang dengan garis wajah yang kuat. sedikit banyak bisa dipastikan, tahanan yang akan dikunjungi memiliki kasus pemerkosaan, atau pembunuhan.

Di LP kota S itu, ada sebuah ruang tunggu untuk menemui para penghuninya. Sebelum masuk, ada pos kecil untuk memeriksa para tamu yang hendak berkunjung. Tak boleh ada alat komunikasi, makanan basi atau bahkan tindak tanduk yang mengundang sensasi.

Kebetulan, siang itu LP di kota S sepi. Tak banyak pengunjung yang datang menjenguk. Seorang perempuan membawa sekantung jeruk, sebagai buah tangan dari kota M yang sejuk. Dari dalam keluar lelaki yang mulai menua, sambil komat-kamit layaknya orang berdoa. Tentu dia gemetar melihat perempuan muda, sedikit cantik duduk tegap menunggunya.

Pak sipir mengiringi langkah lelaki itu, membawanya tepat dihadapan perempuan dari kota M. Lelaki itu duduk diam sambil menunduk. Wajahnya pucat dengan bola mata yang hampir meloncat. Seolah menyembunyikan sebuah rahasia besar, lelaki itu diam saja. Terus diam, hingga perempuan dari kota M tak sabar.
Lelaki itu kini di depannya, menunduk sambil sesekali memainkan lipitan kaos birunya yang sudah memudar.

Setelah menuduhnya sebagai pembunuh, perempuan itu kembali berkata.
“Kamu bingung atau sedang ketakutan?” tanya perempuan itu pada lelaki kusut dihadapannya.
“Kalau iya, mau apa? Apa kamu akan balas dendam lagi?” mereka diam agak lama, dan setelah lalu lalang sipir dan beberapa tamu menghilang, mereka benar-benar berdua kini. Suasana semakin tegang. Lelaki itu semakin tak bisa menguasai ketakutannya.
Perempuan dari kota M melanjutkan percakapan :
“Kamu ingat, bagaimana kamu membunuh wanita itu?”
“Mana mungkin aku lupa,”
“Sikap kamu tenang sekali,”
“Karena aku tahu itu tidak disengaja, aku menyesal.”
“Menyesal? Karena akhirnya kamu tertangkap dan tidak bisa melarikan diri?”
“Diam kau. Ketahuilah, di sini kamu tidak bisa melakukan apapun. Termasuk membunuhku.” Kata lelaki itu akhirnya.
“Begini, aku akan ceritakan satu kisah menarik untukmu. Silahkan kamu dengar jika ingin mendengar. Silahkan mengacuhkan jika kamu ingin,”
“Agh, kamu mulai pandai bermain kata,” perempuan dari kota M itu lantas menginjak kaki lelaki itu kuat hingga mendadak diam menahan rasa sakitnya.
“Ingat! Dulu saya memang lemah tapi sekarang tidak,” katanya pada lelaki itu.
“Kamu pikir saya lembek! Lepaskan injakan kakimu,” perempuan dari kota M itu menuruti.
“Saya sambung cerita saya, pada suatu malam * Nur bukan lagi buruh karena sudah dipecat. Nyawanya Cuma satu, tidak seperti kucing. Maka harus disambung apapun jalannya. Nur memaksa betah begadang, membalik hidup memutar nafas. Siang menjelma malam, malam harus siang.
Nur jadi pengintai menyeringai licik di balik intip sang bulan. Nur berbekal parang, tombak, kembang turi. Matanya gelap menghadang melawan Tuhan. Membasmi leher, memenggal usus, melibas jantung jadi nafas lazim. Melumat darah, menggilas tangis, mengunyah nyawa agamanya. Nur sang pemburu sedang diburu. Nur sang iblis kini dicari.

Suci, ibu satu anak perempuan umur satu, masih bertahun untuk disapih. Suci buruh cuci para tetangga kiri kanan kos. Jemarinya kini kasar. Telapaknya sudah terkelupas. Hancur koyak-koyak digerus deterjen dilibas pakaian. Tiada lentik suci menahan himpitan demi ASI untuk anaknya.
Suci terpaksa pulang sendiri dini hari dingin merintih. Dipinjami jaket tebal kerudung cadar teman. Harus meniti setapak mendung malam suram. Nur, melihat mangsa. Mencabut parang melibas leher melempar tombak menghujam dada. Suci terkapar darah meruah-ruah menahan nyawa tak terbang menggelepar di aspal beku. Nur berpesta merebut tas kumal berisi lembar seribuan. Suci mati. Nur pulang usai fajar menjelang terik. Ada isak parau di rumah. Nur meledak sejadinya. Nur suci suami istri,” Laki-laki itu menunduk.
“Pembunuh! Kamu bajingan!”
“Ja-ngan te-rus-kan,” kata lelaki itu terbata dan pelan.
“Kenapa? Tak sanggup mendengar? Bukankah kamu bilang kamu tak lagi lembek?” lelaki yang bernama Nur diam saja.
“Setiap kamu datang kamu selalu menceritakan kisah ini. Mengapa kamu balas dendam dengan cara seperti ini, aku bisa gila!”
“Kamu pikir saya tidak gila? Kamu tahu, suci satu-satunya keluarga bagi saya. Dia kakak yang hebat. Dia cantik, bunga desa. Di kota M banyak pemuda yang ingin melamarnya. Tapi untuk pembunuh sepertimu, dia harus mati. Brengsek!”
“Bukankah aku bilang aku tak sengaja? Hidup semakin sulit. Aku harus membawa pulang sejumlah uang untuk suci dan bayi kami. Seandainya aku tidak pengangguran,”
“Penjahat!”
“Aku hanya korban dari keadaan,”
“Itu urusan kamu. Kamu selalu menyalahkan keadaan. Seharusnya kamu menjadi laki-laki yang bersyukur. Setiap hari istrimu suci melayani. Wajah cantiknya menghilang mengikuti arus kehidupan yang bergelombang. Tapi kamu bodoh kan, begitu saja membunuh demi uang hasil cuci baju istrimu yang tak seberapa.”
“Beri aku kesempatan untuk menyesal, berhentilah mengingatkanku akan hal ini.” Nur memohon pada perempuan dari kota M. Lalu perempuan dari kota M itu mendekatkan mulutnya ketelinga Nur.
“Aku hanya akan bilang ini sekali, jadi dengarkan baik-baik. Anakmu, anakmu dan Suci tak pernah saya tahu dimana keberadaannya. Sejak suci mati dan kamu masuk penjara, saya tak pernah bertemu anakmu. Dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Bayi itu hilang, saat kami sibuk mengurus penguburan istrimu. Bayimu menghilang saat saya harus bolak-balik dipanggil polisi untuk menjadi saksi. Tak ada yang tahu. Bisa jadi, dia diculik lalu dijual untuk jadi pengemis di jalanan. Atau bahkan mati diseret anjing kampung. Dan kamu tahu ini salah siapa?” Nur lemas seketika. Tak ada suara. Hening menjadi waktu terbaik saat itu.

Sejak setahun lalu dia dipenjara, perempuan dari kota M selalu datang lantas menceritakan kisah yang sama tentang Nur dan Suci, tapi tak sedikitpun ia singgung cerita anaknya. Teror yang terus menerus itu, membuat pikirannya kosong hingga tak sempat menyesal dalam penjara. Ia depresi dan menjadi laki-laki murung. Dia hampir gila. Lalu hari ini, ketika perempuan dari kota M datang lagi, membawa cerita baru, Nur jatuh dalam posisi lemas. Wajahnya semakin pucat dari sebelumnya, bola matanya melebar reflek terkejut. Tubuh dan tangannya kaku, ruas jari menjadi biru, bibirnya beku dengan air mata yang terus jatuh membatu. Kedua kakinya gemetar, bibirnya bergetar. Lalu perlahan dia bersimpuh, menangis tertahan.

Derit engsel pintu terdengar menakutkan. Langkah sepatu kulit para sipir terasa mencekam. Suara parau lelaki penjaga yang berkumis tebal itu terdengar berat, mengingatkan jam kunjungan berakhir. Perempuan dari kota M berdiri dari duduknya, sedikit tersenyum mendekat kearah Nur. Dipegangnya pundak Nur kuat seraya menyelipkan cubitan kecil dengan kuku tajam, lalu berbisik.
“Nur, saya serius soal anakmu.” Ujarnya sambil pamit pulang. Betapa hebat caranya balas dendam.

Catatan:
Tanda * Inspirasi dari puisi senandung[disingkat oleh WhatsApp]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.