Arwah Penasaran di Leubok Jok
Warga mengamuk membakar seluruh isi rumah. Nuraini ikut diseret ke luar dan diangkut ke lapangan jagal. Tiba di turunan Leubok Jok, ia mel... 4:37 AM
Warga mengamuk membakar seluruh isi rumah. Nuraini ikut diseret ke luar dan diangkut ke lapangan jagal. Tiba di turunan Leubok Jok, ia melompat dari truk. Sial, kepalanya membentur jalan. Ia tewas dalam kegelapan malam.Sekitar tahun 80-90 an kerap kali ada warga yang mengaku melihat sesosok bayangan putih duduk di pinggir jalan, di km delapan, tepatnya di turunan Leubok Jok, Jalan Bireuen-Takengon. Ada juga laporan bila bayang putih itu adalah hantu perempuan yang gentayangan. Ia tidak menganggu pengendara, tapi kehadirannya kerap membuat pelintas kencing dalam celana.
Adalah Aisyah (80) yang mengaku pernah melihat bayang putih. Kala itu ia membonceng ibunya dengan sepeda onthel. Sekitar pukul 23.00 WIB ia dan rombongan pulang dari Keude Dua, Juli, usai mengantar pengantin pria. Kala itu, intat linto digelar malam hari.
"Begitu sampai di turunan itu, tiba-tiba saya melihat kelabat putih mendekat. Tidak begitu lama bayang itu semakin nyata dan menyerupai perempuan. Wajahnya begitu ketakutan. Ia seolah minta tolong," kenang Aisyah.
Sesaat selanjutnya, Aisyah kehilangan kesadaran. Ia sadar kala rombongan beramai-ramai menggotongnya pulang ke rumah. "Mulut saya penuh lumpur karena terperosok dalam parit di depan mesjid. Usia saya kala itu sekitar 20-an, atau bisa lebih muda lagi," kenangnya.
Cerita lainnya pernah disampaikan oleh Is (45). Dulu, saat pulang nonton PHR (bioskop kelas ekonomi) di Lapangan VOA, Bireuen, ia pulang ke rumah dengan bersepeda. Sial, malam itu ia ditinggalkan oleh teman-temannya yang pulang lebih awal tanpa memberitahu Is. Ia sendirian pulang seusai menonton film Barry Prima, serta sempat berkeliling Kota Bireuen, yang kala itu masih daerah pembantu kabupaten.
Ia tidak ingat pukul berapa kala tiba di sana. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Hujan turun rintik-rintik dan malam kelam mencekam. Tak ada kendaraan lewat. Ia kembali tengkuknya yang mulai dingin. Laju sepeda kian berat ia kayuh. Lututnya mulai tak bersahabat.
Tak ada rumah warga di sana. Ia sesekali melihat ke belakang. Tapi ada manusia seorang pun. Is mulai takut. Mulutnya komat-kamit menghafal ayat Qur'an. Begitu sampai di turunan, sebuah truck lewat. Lampu mobil itu menyorot ujung bukit. Terlihat seorang perempuan duduk di bawah pohon rambutan besar. Tapi tak begitu jelas, karena rinai hujan menghalalkan pandangan.
Is mempercepat laju sepeda. Tapi, ia tak mampu mengejar truck itu. Sepeda mini yang ia kayuh sepertinya juga kelelahan. Hingga akhirnya ia pun pasrah menuruni jalan itu sembari memperbesar volume suara membaca Qur'an, ayat apa saja yang ia ingat.
"Begitu tiba di dekat pohon rambutan, saya mendengar seseorang menyebut nama saya. Saya pun kalah dengan rasa takut. Sembari menangis keras, saya mengayuh sepeda dengan kekuatan luar biasa. Saya baru lega kala tiba di Simpang Beunyot. Di sana masih ada warga yang duduk-duduk sambil merokok," kenangnya.
Namanya Nuraini, asal sebuah kecamatan di ujung barat Aceh Utara (kini Bireuen). Ia tak tahu politik, hingga suatu malam seluruh keluargnya diminta naik ke dalam truk. Rumahnya dikepung oleh warga bersenjata parang dan beberapa ABRI yang seolah-olah hanya sebagai pengaman saja. Semua proses penggeledahan, dilakukan oleh warga.
"Saya baru tahu bila kami dituduh sebagai anggota PKI. Bapak sempat membantah. Tapi apalah artinya berdakwa dengan massa yang sedang marah," kata suara gaib itu kala dihubungi via astral oleh tim Misteri Aceh.
Nuraini menolak menunjukkan wajahnya yang asli kala diinterogasi oleh tim. Ia hanya mau duduk membelakangi tim.
Ia kembali berkisah bahwa malam itu ia dan seluruh keluarga di seret naik ke truck. Rumahnya dibakar setelah seisi rumah dihancurkan. Mobil tua itu melaju ke timur. Ia sadar akan ada yang tidak beres, kala tiba di Simpang empat Bireuen, mobil memutar ke arah Takengon.
Nuraini dan keluarganya beserta beberapa orang lagi, serta dikawal oleh 15 warga bersenjata parang dan tombak, serta dua orang ABRI, berdiri di sekeliling bak truck. Sesekali tawanan ditendang.
Tiba di turunan Leubok Jok, Nuraini pun melompat. Sial, kepalanya langsung menghujam batu besar yang ada di badan jalan. Kepalanya pecah, darah berhamburan.
"Tak usah diambil. Ia akan segara mampus," kata seseorang di dalam truck. Benar saja, tiga menit kemudian gadis malang itu merenggang nyawa.
"Aku sedih sekali. Kami yang tak tahu apa-apa, bahkan aku yakin bapak juga tak terlibat. Karena kami petani kampung. Tapi tanpa pemeriksaan yang jelas, segera hendak dibantai. Kala itu, melakapkan seseorang sebagai peka-i begitu mudah. Sehingga nyawa kami tak berguna," kisah arwah itu.
"Setahuku bapak bukan orang politik. Kami sekeluarga tiap hari ke ladang. Keluarga kami bodoh. Bila diperintah ke lapangan kecamatan, kami pun berangkat. Bila diperintah ikut memilih partai politik kala pemilu, kami ikut. Tapi malam itu, semua kepatuhan kami kepada negara seperti tak berguna sama sekali. Wajah-wajah beringas itu memperlakukan kami seperti penjahat. Aku ingat wajah-wajah kejam itu, sebagian adalah tetangga satu kampung," kenangnya penuh maygul.
Usai berkisah, ia pamit. "Semoga kisah-kisah berguna. Di tangan yang salah, politik dan kekuasaan ibarat bala. Ia akan menjadi ancaman bagi siapapun. Atas nama sesuatu nilai, meraja tak segan membantai siapapun, termasuk yang tak tahu apa-apa.
"Dulu aku mengutuk diri, namun setelah melihat pembantaian masa pemberontakan DI/TII, GAM, semua menjadi jelas. Bahwa orang-orang selalu saja menjual nilai lain untuk membantai yang lain. Orang Aceh jangan mudah terkecoh dengan irama gendang orang lain," imbuhnya seraya terbang ke arah Krueng Peusangan. []
Post a Comment